Anggaran Kesehatan Menurun, Strategi Pemerintah Untuk Meningkatkan Kesehatan Warga

Sejumlah ekonom di Indonesia menyoroti sangat kecilnya porsi anggaran untuk sektor kesehatan dalam APBN 2026. Hal ini dianggap belum mencukupi kebutuhan layanan dasar bagi masyarakat, dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki alokasi lebih tinggi.

Ketua Indonesia Health Economic Association, Prof. Hasbullah Thabrany, mengungkapkan bahwa pembiayaan publik sektor kesehatan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara seperti Thailand dan China. Menurutnya, rendahnya anggaran ini akan berpengaruh negatif terhadap kualitas layanan kesehatan yang diterima masyarakat.

Pada acara Sarasehan 100 Ekonom di Jakarta, Hasbullah menyebutkan bahwa anggaran Kementerian Kesehatan hanya sekitar Rp114 triliun. Jika digabung dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), alokasi ini baru sekitar 1,7% dari total PDB, jauh di bawah standar minimal yang tertanam di negara lain yang telah mencapai 3% dari PDB.

Lebih lanjut, Hasbullah menilai bahwa rendahnya rasio pajak di Indonesia menyulitkan pemerintah dalam memperjuangkan anggaran yang lebih besar untuk kesehatan. Ini sangat ironis, mengingat sektor kesehatan adalah fondasi penting bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan produktivitas nasional.

Menanggapi kritik tersebut, Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kesehatan, Bayu Teja, mengakui bahwa keterbatasan anggaran menjadi tantangan tersendiri. Namun, ia menjelaskan bahwa pihaknya tetap memfokuskan alokasi yang ada untuk program-program prioritas yang dianggap sangat vital.

Pentingnya Fokus pada Program Kesehatan Utama untuk Masyarakat

Bayu menegaskan bahwa anggaran Kemenkes pada tahun 2026 adalah sebesar Rp114 triliun, dan prioritasnya adalah pendanaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN, vaksin, serta pendidikan dokter spesialis. Ini adalah langkah strategis dalam memastikan bahwa anggaran yang terbatas dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat yang paling membutuhkan.

Dia juga mengungkapkan bahwa pemerintah tengah memperkenalkan alternatif pendanaan untuk proyek-proyek besar. Misalnya, ada rencana untuk meningkatkan kualitas rumah sakit di daerah tertinggal, terdepan, dan terisolasi (3T) serta pengadaan alat kesehatan melalui skema pinjaman, hibah, dan dana Badan Layanan Umum.

Dalam upaya ini, Bayu menekankan pentingnya kombinasi berbagai sumber dana untuk menutupi kekurangan anggaran. Dukungan dari berbagai pihak diperlukan untuk merealisasikan tujuan ini dan memastikan sistem kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat.

Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman, Prof. dr. Budi Aji, juga menyampaikan pandangannya mengenai tantangan lain dalam sektor kesehatan. Ia menggarisbawahi rendahnya pemanfaatan data kesehatan nasional, meskipun telah dihasilkan melalui berbagai program digital yang canggih.

Menurutnya, data yang sudah ada seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengukur efektivitas program kesehatan. Misalnya, kita perlu mengetahui apakah Program Makan Bergizi (MBG) mampu menurunkan angka stunting. Ini adalah tugas besar yang perlu diperhatikan untuk perbaikan berkelanjutan.

Strategi untuk Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya dalam Anggaran Kesehatan

Eri Setiawan, seorang penanggap dalam acara tersebut, menekankan dampak dari penghapusan mandatory spending, yang sebelumnya mengharuskan anggaran minimal untuk sektor kesehatan. Akibatnya, anggaran untuk kesehatan kini lebih dipengaruhi oleh program yang berjalan, dan jika anggaran terus dipotong, hal ini akan berdampak serius pada kemampuan memenuhi layanan dasar bagi masyarakat.

Menanggapi hal ini, Bayu menegaskan bahwa perubahan paradigma dari mandatory spending ke money follow program memang memberikan dampak. Dengan sistem ini, pemerintah diharapkan lebih fokus pada efektivitas program yang dijalankan dalam alokasi anggaran untuk sektor kesehatan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kemenkes melakukan evaluasi program untuk memastikan bahwa setiap pengeluaran anggaran memberikan hasil yang positif. Hal ini dilakukan dengan melakukan perhitungan mendalam mengenai efektivitas biaya yang dikeluarkan untuk program-program kesehatan yang berlangsung.

Bayu juga menambahkan bahwa tahun 2026 akan menjadi tahun penting bagi penguatan sistem kesehatan dasar. Beberapa fokus utama termasuk peningkatan rumah sakit di daerah 3T, penyediaan alat medis yang standar di seluruh puskesmas, serta peningkatan deteksi untuk penyakit tuberkulosis dan penanganan penyakit katastropik utama lainnya.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa bagian dari pembiayaan JKN bisa lebih efisien. Pemerintah ingin memastikan bahwa masyarakat dapat hidup sehat, sehingga pengeluaran untuk penyakit yang berat dan kronis bisa ditekan dan tidak membebani sistem kesehatan.

Pentingnya Data dan Interoperabilitas dalam Sektor Kesehatan

Untuk mencapai tujuan tersebut, penting bagi setiap pihak untuk berkolaborasi dalam memanfaatkan data yang ada. Interoperabilitas sistem data antara puskesmas dan rumah sakit juga menjadi kunci untuk mengambil keputusan medis dan kebijakan yang berbasis data.

Data kesehatan harus dikelola dengan baik agar informasi dapat diakses secara real time. Hal ini tidak hanya meningkatkan efektivitas program-program kesehatan tetapi juga memastikan bahwa pengambilan keputusan berbasis bukti dapat dilakukan.

Saat ini, masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam integrasi data kesehatan. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kapasitas pemanfaatan data harus menjadi perhatian utama agar sektor kesehatan dapat berjalan lebih baik ke depannya.

Dengan landasan data yang kuat, pengembangan program yang lebih tepat sasaran dan efektif dapat terwujud. Ini berarti bahwa kebijakan kesehatan nasional bisa lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya.

Ke depan, harapannya adalah sistem kesehatan di Indonesia bisa lebih berkelanjutan. Melalui upaya terus menerus dalam memperbaiki sistem dan pengelolaan anggaran, diharapkan kualitas layanan kesehatan di seluruh negeri dapat ditingkatkan secara signifikan.

Related posts